Karo(Aru/Haru) adalah suku asli yang mendiami Sumatera
bagian utara, timur, dan tengah. Dipercaya, dahulu kala daerah Karo(Aru/Haru) ini didiami
oleh suku bangsa yang bernenek moyangkan Karo(Aru/Haru) yang dikemudian hari
diyakini dari nenek moyang Karo inilah lahirnya Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan,
4. Sembiring, dan
5.Peranginangin) dan selanjutnya dari Merga Silima itu, terlahir
cabang(sub-) merga serta sib(rantingnya). Namun, dalam perjalanan suku
bangsa Karo ini, terjadi
invasi-invasi dari beberapa suku bangsa baik yang memiliki pertalian
dekat
maupun jauh dengan Karo itu, yang dimana
sebahagian besar mereka diindikasikan dari negeri-negeri di Selatan
India,
seperti: Colay(Cōla),
Pandya(Pandyth), Palawa, Teykaman, Muoham,
Malaylam, dan Kalingga (Orysa), dll., yang kemudian berbiak, membentuk klan-klan-nya, beradaptasi(bukan membentuk budaya Karo itu) dengan
budaya Karo Tua(Proto Karo), kemudian kelompok
tersebut merasuk ke Karo itu dan menjadi bagian dari Merga Silima tersebut, atau
dengan kata lain menjadi sub/sib merga Merga Silima(baca etimologi marga).
Diyakini juga, masa invasi-invasi ini berlangsung cukup lama,
setidaknya sekitar 200 tahun Sebelum Masehi(SM) hingga masa masuknya
Hindu sekitar awal abad ke-13 Masehi, maka pada invasi ini mereka bukan
membentuk namun beradaptasi dengan budaya Karo yang telah ada walau
tidak dapat dipungkiri jikalau mereka juga turut serta dalam menambah
variasi dari tradisi budaya Karo itu.
Keberadaan suku bangsa
Karo diyakini sudah ada jauh sebelum abat I(pertama) tahun Masehi, hal ini juga ditunjukan dengan keberadaan kerajaan Aru(Haru-Karo)
yang dimana diyakini
berdirinya sekitar awal-awal tahun Masehi, sehingga berkesimpulan dari
tradisi ini, maka diyakini benih-benih Karo telah ada sebelumnya.
Aru/Haru, merupakan salah satu kerajaan tua yang pernah berdiri di Pulau
Sumatera tapatnya berpusat di wilayah Sumatera Utara sekarang, yang tumbuh dan
berkembangnya bersamaan dengan beberapa kerajaan besar di nusantara, seperti:
Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, dll. Hal ini ditandai dengan adanya
interaksi antara Aru/Haru dengan kerajaan-kerajaan tersebut, seperti: peperangan,
interaksi pelayaran, agama, perdagangan; baik secara langsung maupun yang
tersirat dalam bentuk sastra kelasik.
Gua(rumah) Umang yang banyak ditemukan di wilayah -wilayah Karodiyakini tempat tinggal manusia Purba. |
Brahma
Putro dalam bukunya yang
berjudul “Karo dari zaman ke zaman” mengatakan kalau Aru/Haru telah ada pada abad
I Masehi dengan raja pertamanya bernama Pa Lagan(kisah kebesaran Pa Lagan ini juga tersirat dalam Babat Sunda dan kitab Manimengelai
karya pujangga populer India, Brahma Putro), yang berpusat di Teluk Haru(Langkat). Dan, penyebaran
suku Karo ini meliputi keseluruhan wilayah Aru/Haru yang secara garis besar
meliputi Sumatera bagian utara(termasuk Aceh), timur, dan tengah. Keberadaan suku Karo di Aceh ini dikatakan
Brahma Putro dengan adanya kerajaan Karo di Aceh dimana dikatakan juga
raja Karo terakhir yang pernah berkuasa di Aceh bernama Manang Ginting Suka. Hal ini juga sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh H. Muhamad Said
dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” (1981), yang mengatakan bahwa
penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan yang mirip Batak(walau tidak secara
diteil dijelaskan). H. M. Zainudin
dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”(1961) menuturkan bahwa di
lembah Aceh Besar selain
kerajaan-kerajaan Islam juga ada berdiri kerajaan Karo, yang dalam logat Aceh
disebut Karéé. Dan, beliau juga menambahkan bahwa penduduk asli bumi putra dari
XXV Mukim bercampur dengan Karo, dan itu-lah yang disebutkan tadi diatas dengan Karéé.
Sapo Karo di Kuta Raja (Banda Aceh) |
Dikemudian hari, terjadi persengketaan antara suku Karo dengan kaum Hindu di Aceh, sehingga untuk menyelesaikan pertikaian ini disepakati diadakan perang tanding antara tiga ratus(300) orang suku Karo melawan empat ratus(400) kaum Hindu di sebuah lapangan terbuka. Namun pada akhirnya pertikaian ini berakhir dengan damai, dan sejak saat itu suku Karo disana disebut kaum tiga ratus atau Kaum Lhee Reutoih dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Kemudian hari terjadi percampuran antara suku Karo dan kaum Hindu, dan kelompok percampuran ini disebut dengan Kaum Jasandang.
Sapo Karo di Kuta Raja (Banda Aceh) |
Diyakini,
Hindu sudah masuk ke nusantara,
juga ke Karo(Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi, dimana dipercaya aksara Palawa(wenggi) mulai
diperkenalkan bersaman dengan
bahasa Sansekerta, dan diikuti oleh Budha lima abad kemudian (abad ke-5 M) bersamaan dengan masuknya aksara Nagari yang diyakini menjadi cikal bakal lahirnya Tulisen Karo(Surat Aru/Haru), aksara Melayu Kuno, Jawa Kuno, Batak, dll. Mereka(misionaris
zending Hindu) merupakan penganut Senata Dharma. Hal ini didukung dengan
ditemukannya sebuah inskripsi pada batu
bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian
Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts
pada tahun1879 M.
Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof.
Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan. Maka,
diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di
Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil
ada permukiman pedagang dari India
Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut
tafsiran membawa pegawai dan
penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang.
Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman,
Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa).
Sekitar tahun 1128-1285 M karen
terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan serdadu dan
pedagang Arab serta Turki(ada beberapa ahli berpendapat jikalau mere terdesak
oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh), maka
kaum Tamil di Barus mengungsi ke
pedalaman Alas dan Gayo (di
Kabupaten Aceh Tenggara),
dan kemudian mendirikan Kampung Renun.
Ada juga yang menyingkir lewat Sungai
Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo
kemudian mendirikan kuta(kampung) Lingga, serta
Sembiring Singombak yang diantaranya:
Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Guru
Kinayan, Keling, Depari, Pelawi(Pahlawi/Palawa), Bunu Aji, Muham, Busok,
Meliala(Maliala/Milala), Maha, Tekang(Teykang), Pande Bayang, dan Kapur. “Bayangkan, bangsa dari negeri yang jauh berlayar ke
nusantara dengan peradaban yang tinggi harus berbaur dan mau mengaku Karo demi
sebuah kehidupan. Dari hal ini dapat kita asumsikan kalau Haru(Karo) itu adalah
tempat yang nyaman bagi seluruh bangsa dan juga telah memilik peradapan yang
tinggi pula.”
Monumen GURU PATIMPUS PELAWI |
Bukan
itu saja, banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di
Selatan India, antara lain: masyarakat
Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan
mangmang/tabas(mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu
melantunkan mantr; Mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir,
ergunting, erkiker(memotong gigi), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo
juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan
wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena). Ikuti link ini: http://karosiadi.blogspot.com/2012/12/pencak-gelang-gelang-mulih-mulih.html dan dengarkan lagu ke-5, dimana seorang melantunkan mangmang/tabas(mantra) Karo (Title : Sumatra. 14, Berastagi and Kampung Doulu, Kabanjahe, North Sumatra; Creator : Margaret J. Kartomi; Contributor : Monash University. Faculty of Arts. School of Music-Conservatorium; Date : 1971; Recording session 1 (30 Dec. 1971 in Berastagi) : No.1. Pencak (continued from MK1-SUM0147) ; No.2. Gelang-gelang ; No.3. Pencak ; No.4. Mulih-mulih ; No.5. Mantera)
Dalam
hal seni, beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget(cengkok) Karo yang hampir sama dengan cara
orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune(serunai) yang tinggi di Karo yang endekna(cara permainannya) sama seperti teknik vocal wanita di India,
serta beberapa perkusi Karo yang juga serupa
dengan yang ada di India.
Berdasarkan pada catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien yang melakukan perjalanan di
tahun 414 M, Aru/Haru sudah ada walau tidak dijelaskan letaknya secara
pasti. Dan, abad ke-9 M kembali muncul beberapa nama kerajaan seperti: Rami(Lamuri[-di] di Aceh), Balus(Barus), Jahé(Sriwijaya), Melayu,
dan Harlanj(Aru/Haru/Karo).
Dalam tradisi Karo
sendiri, dikatakan Haru berdiri sekitar tahun 685 M yang berpusat disekitar
Teluk Haru(Langkat) dengan rajanya yang pertama bernama Pa Lagan. Dikemudian hari, karena seringnya terjadi peperangan di
wilayah-wilayah Haru ini, maka pusat kerajaan mengalami perpindahan ke
pedalaman Deli, namun karena saat itu tidak ditemukan kesepakatan akan pusat
kerajaan dan kekuasaan maka pada akhirnya kerajaan ini terbagi atas beberapa
kerajaan besar dan juga urung-urung. Adapun kerajaan-kerajaan pecahan Haru itu,
diantaranya: Kerajaan Haru Mabar, Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan Haru Kuta
Buluh, Kerajaan Haru Pasé, Kerajaan Haru Lingga Timur Raya, dan Kerajaan Haru
Deli Tua.
Tahun 860 M, Kerajaan Haru diserang oleh Sriwijaya(Jahé) di Teluk
Haru(Langkat) tetapi tidak berhasil, namun banyak penduduk Haru yang pindah ke Alé(Deli Tua) dan Gugung (pegungungan/dataran tinggi Karo) untuk
menghindari peperangan. Pada masa-masa inilah banyak masyarakat Aru/Haru(Karo) yang bermigrasi ke pegunungan, sehingga diyakini dimasa ini-lah awal
munculnya sebutan kalak jahé(orang
hilir) ataupun Karo Jahé(orang Karo
dari hilir). Adapun peninggalan serangan Sriwijaya itu ialah para serdadu
Sriwijaya yang tertinggal dan tertawan yang kemudian beradaptasi dengan budaya Karo dan masuk menjadi bagian salah satu
dari merga Karo-koro sub-merga Karo-karo Paroka.
Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang
telah menggunakan kata Munthé(Muté)
ini dibelakang namanya, salah satunya adalah Ascricus
van Munthe(1072) dari Vlanderen yang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun
1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Haru(Karo),
Nagur(Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané(Mandailing), ya mungkin saja!
Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai
sejak abad ke-5 M. Bahkan di Norwegia, di abad
ke-16 muncul Ludvig
Munthe. Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang
sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia?
Namun, jika ditinjau dari faktor waktu(tahun 1000 – 1500’an) dan geografis hal
ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang
berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit
kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi Belanda,
Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe(1593-1649)
ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge. Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah
keturunannya lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen(Belgia) adalah
tanah asal leluhur mereka ( dokumen terlampir di: http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm | http://www.genealogy.munthe.net/ | http://www.sverre.munthe.net ). Dari cerita diatas, maka timbullah pertanyaan besar: apakah
Munte(Munthe) di Belgia, Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau
bahkan satu nenek moyang dengan Munthe yang tersebar di nusantara? Dan,
darimanakah alsal Munthe ini sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi
misteri besar, tetapi setidaknya ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan
Munthe itu lebih awal di utara Danau Toba(Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe
itu sendiri, yang didukung oleh tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Seraggih Munthe(Simalungun), Dalimute(Labuhan Batu) Karo-karo
Sinulingga(tradisi Karo) dan juga tradisi Simalungun.
Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang
Anthrofologi ber-merga Munté yang tinggal di Madagaskar asal Norwegia mengunjungi Kuta Ajinembah(Tanah Karo/Larolanden), diantar oleh Pengurus Nomensen dan
diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971 ). Beliau
mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah di
rumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur,
penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan
Marga Munthe, hal. 221).
“seperti bunyi surat yang ditulis sdr. Severre Munthe, bahwa seorang Munthe pakai huruf “h” atau tidak pakai huruf
“h” masa koloni monopoli dagang, tinggal di kampung yang bernama Munte , bermasyarakat dan
hidup turun temurun.” (dalam dok. Dame Munthe: “MUNTHE DARI NORWEGIA?”).
Ket: Kuta(Kampung) Munte terletak di Kab. Karo, Sumatera Utara dan
sekarang menjadi nama sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Karo.
Geriten Karo di Istana Sultan Deli (1877) |
Tahun 1331 M
dibawah pinpinan Maha Patih Gajahmada kerajaan Majapahit menyerang Haru, tetapi gagal menaklukkan Haru,
sehingga beberapa serdadunya yang tertinggal dan tertawan menjadi rakyat Haru
dan masuk menjadi salah satu merga Peranginangin
dengan sub-merga Peranginangin Jab.
Dalam Sejarah
Majapahit sendiri, nama Haru berulang kali disebut-sebut, hal ini menjadi bukti
akan kebesaran Kerajaan Haru di-zaman itu dan menjadi salah satu negara kuat yang susah
untuk ditaklukkan oleh kerajaan terbesar di nusantara ini(Majapahit), membuat seorang maha patih menjadi resah dan
mengikrarkan sumpah akan menaklukkannya. Kisah ini juga dengan jelas
diceritakan dalam buku “Karo dari Jaman ke Jaman” karya pujangga terkenal India
yang bernama Brahma Putro. Berikut petikan sumpah palapa dari Maha Patih Gajah Mada, Patih Amangkubhumi Majapahit.
Sumpah Palapa adalah suatu
pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit , tahun 1258 Saka (1336
M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai
berikut:
Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan
ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun
amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya
dalam bahasa Indonesia:
Beliau Gajah Mada Patih
Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah
mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan)
melepaskan puasa".
Terjemahannya dalam
cakap Karo:
Enda me Si Gajah Mada puanglima simbelin si la erngadi-ngadi erpuasa. Ia Gajah Mada, “Ndia enggo ngalahken nusantara, maka kami pengadi puasa. Adina pepagi enggo naklukken Gurun, Seram, Tanjung Pura, Karo, Pahang, Dampo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, bage me siterjadi maka pusa enda i pengadi.”
Enda me Si Gajah Mada puanglima simbelin si la erngadi-ngadi erpuasa. Ia Gajah Mada, “Ndia enggo ngalahken nusantara, maka kami pengadi puasa. Adina pepagi enggo naklukken Gurun, Seram, Tanjung Pura, Karo, Pahang, Dampo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, bage me siterjadi maka pusa enda i pengadi.”
Sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak
Karo yang berasal dari Aji Nembah(Karolanden/Taneh Karo) sekitar tahun 1428
M menetap di Raja Simbolon dengan
menunggangi horbo(kerbau)
Sinanggalutu. Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si Munte dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo
Nenggala Lutu” ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut “dali” dan menanamnya kemudian tumbuh
subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para
tetangga menawarkan barter dengan menyebut dali
– Munté dengan maksud “kacang mu o,
Muté ” atau “minta kacangmu o, Munté
”. Sehingga dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.
Sejarah Dinasti Ming menyebutkan
bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411 M. Setahun kemudian
Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho.
Pada 1431 M
Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak
lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Malaka
sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini
dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental (disebutkan bahwa kerajaan Haru
merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki
wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires
juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan
lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu.) maupun dalam Sejarah Melayu. Dimana sebelumnya di tahun 1282 M Haru
mengirim misi ke Tiongkok.
Dalam ekspedisi maritim Tionghua tahun 1413 M Ying-yai Sheng-lam, disebutkan “A-lu(Aru,
Haru/Karo)” merupakan penghasil kemeyan; dan sumber Tionghua lainnya Hsing-ch’a Sheng Lam menyebutkan “A-lu”
sebagai penghasil beras, kemeyam, bahan-bahan aromatik, kamper, dll.
Dalam Wu Pei Shih(Peta Cina, 1433 M)
disebutkan, ketika armada Cina berlayar dari arah barat saat hendak kembali ke
Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan sebagai berikut: Su Man Ta La(Samudra
Pasai), Chu-Shui Wan(Lhok Seumawe), Pa Lu T’hou(Perlak), Kum Pei
Chiang(Tamiang), Ya Lu(Haru/Karo), Tan Hsu(Pulau Berhala), dan seterusnya.
Januari dan November 1539 M, Haru diserang oleh Sultan
Aceh Al Qadar(Sultan Alaidin Riyad Shah – I) dan kejadian ini dituliskan oleh
Ferdinand Mandez Pinto yang merupakan seorang utusan Portugis saat mengunjungi
Haru(Haru II/Deli Tua) dari Malaka setelah menempuh lima hari perjalanan hingga
sampai di ibu negeri Haru II(Deli Tua).
Tahun 1511 M Haru diserang oleh Malaka namun tidak
berhasi. Kemudian ditahun 1515 M Haru kembali diserang kali ini oleh Aceh dan
Portugis namun juga tidak berhasil. Dan, para peneliti meyakini dimasa iniliah
pusat kerajaan Haru benar-benar berpindah dari Teluk Haru(Langkat) ke Alé(Deli
Tua).
"Geriten di Istana Maimoon" sumber photo: tripadvisor.com |
Dalam suratnya kepada Raja
Portugal bertahunkan 1539 M Pero
de Farida mengatakan Aceh telah menyerang Haru sebanyak dua kali, yakni di bulan
Januari dan November 1539 M. Cornelius de Houtman dan Frederich de
Houtman saat tiba di Aceh tertanggal 21 Juni 1599 mengutarakan beberapa kerajaan
besar di Sumatera, diantaranya: Minangkabau, Pedir, Haru, dan Aceh. Di-tahun 1591 M Sultan Johor, Ali Jalal
menumpas pasukan Aceh dan berhasil mengalahkanya di Haru yang dimana tahun 1612
M Aceh kembali menyerang balik, dilanjutkan denga serangan di tahun 1624
M yang menjadi titik runtuhnya kerajaan Haru di kawasan pesisir serta
takluk kepada Aceh. Dengan demikian, kekuatan Haru hanya tinggal di-kawasan
pegunungan Karo saja yang hingga kedatangan Belanda belum bisa ditaklukkan oleh
kerajaan-kerajaan lainnya terkhususnya Aceh. Baru di-tahun 1908 M
kolonial Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Haru terakhir(Haru Kuta
Buluh/Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada
Sibayak(raja) Haru Kuta Buluh, Sibayak Batiren(Pa Tolong). Dengan demikian
seluruh wilayah Haru(Karo) telah takluk!
Dari penggalan-penggalan
fakta sejarah diatas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, yang mungkin
jika kita berpaling pada tradisi-tradisi yang ada(opini publik yang digiring
baik sengaja atau tidak) akan terasa janggal, diantaranya:
1.
Suku bangsa
Karo telah ada diawal bahkan sebelum memasuki tahun Masehi. Hal ini merujuk
pada tahun-tahun yang diyakini berdirinya kerajaan Haru(Karo), setidaknya
antara priode abat I hingga abad ke-6. Logika-nya, untuk membentuk ataupun
mendirikan sebuah kerajaan besar, tidak-lah mungkin dalam waktu yang singkat,
dengan ilmu pengetahuan yang minim, serta jumlah sumber daya manusia yang
cukup. Dalam tradisi Karo, untuk membentuk satuan administrasi kuta(satuan/kerapatan dari beberapa kesain) saja harus setidaknya memiliki
kelengkapan diantaranya seperti berikut:
Geriten(munumen) Togan Raya-Batu Malar. Tugu peringatan kedatangan manusia pertama suku Karo yang berasal dari daratan India sekitar 200 Tahun Sebelum Masehi. |
-
Terdiri dari
beberapa kesain yang telah berkembang,
sehingga nantinya akan disatukan(dinaikkan setatusnya) menjadi kuta.
-
Memiliki rumah adat yang menjadi tempat tinggal
dan pertemuan. Serta perangkat-perangkat dalam rumah adat ini juga telah
terpenuhi, baik kebendaannya maupun organik(penghuni).
-
Memiliki kesain(beranda desa/alun-alun) sebagai
tempat pertemuan, bermain anak-anak, penjemuran dan penumpukan hasil tani
terkhususnya padi. Dalam sebuah kuta, setidaknya harus memiliki satu kesain dan untuk kuta-kuta yang besar
bahkan lebih dari tiga atau empat kesain.
-
Memiliki jambur sebagai tempat pertemuan, lumbung
pangan, tempat muda/i bercengkramah dan belajar, tempat memasak saat pesta,
tempat lajang tidur dimalam hari, dan tempat pertandang(musafir/tamu) bermalam;
-
Memiliki geriten sebagai tempat mengumpulkan/menyimpan
tulang belulang leluhur yang dianggap sebagai tokoh/teladan di kuta tersebut;
-
Memiliki peken(reba) sebagai tempat anggota kuta
untuk menanam tanaman keras yang diana luasnya ditentukan oleh pertemuan baluren(lembah);
-
Memiliki pendonen sebagai tempat mengubur zenajah
anggota kuta;
-
Memiliki perjuman yang merupakan berbatasan denga
peken yang diperuntukkan bagi warga
umum dan juga tanaman umum;
-
Memiliki kerangen(hutan) sebagai pengimbang alam,
pemasok udara, dan air segar bagi masyarakat desa yang dimana ada larangan
untuk menebang pohon(hanya boleh mengambil ranting sebagai kayu bakar),
disampin kerangen ada juga deleng rimbun raya dimana di hutan
ini-lah baru diperbolehkan menebang kayu untuk memproduksi balok-balok besar
untuk keperluan bangunan maupun untuk dijual;
-
Memiliki barung yang merupakan tempat mengembalakan hewan
jinak, berupa padang rumput yang luas namun terbatas atau bisa dikatakan lokasi
peternakan alam;
-
Memiliki Perjalangen yang merupakan padang rumput
luas dan tak terbatas. Dimana hewan ternak bebas berkeliaran dan tidak
digembalakan;
-
Memilik tapin(MCK umum) yang minimal satu kuta
harus memiliki dua lokasi tapin yang berjauhan, karena adanya adat rebu(tidak saling sapa) dalam adat Karo;
-
Memiliki buah uta-uta sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan
bagi penganut ajaran Pemena(agama/kepercayaan
Karo).
Itu-lah syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
setatus kuta! Itu masih dalam hal perangkat, belum lagi proses pendiriannya
yang tentunya memakan waktu yang panjang. Bagaimana pula jika mendirikan sebuah
kerajaan Urung ataupun Kesebayaken? Hm.. mungkin butuh waktu sekurang-kurangnya
100 tahun, bukan begitu? Jadi, sangatlah masuk akal jika Karo itu sudah ada
diawal-awal atau bahkan sebelum memasuki tahun Masehi, mengingat masa pendirian
dari kerajaan besar Haru(Karo).
2.
Karo, telah
ada saat masa kemunculan Si Raja Batak(abad ke-13). Maka, muncullah pertanyaan!
Mungkinkan Karo juga keturunan dari Si
Raja Batak yang dalam tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa
Batak? Dimana notabene-nya Karo lebih tua dari Si Raja Batak! Jadi, dalam hal ini terbukti bahwasanya
Karo bukan-lah keturunan dari Si Raja
Batak, karena Karo lebih tua
dari Si Raja Batak, atau setidaknya hidup kerajaan Aru/Haru(Karo) bersamaan dengan
masa hidup Si Raja Batak, jadi dalam hal ini perlulah kiranya membangun logika berfikir dalam menyingkapi fakta sejarah,
jangan lantas kita menerima begitu saja ataupun menjatuhkan vonis
kepeda seseorang ataupun kelompok etnis atas dasar opini umum publik
semata!
3.
Karo = Haru =
Aru = Alé = A-lu = Ya-lu = Ya lo = Carrow = Karau = Karaw = Haro = Harw = Haraw
= Harladji = Harlanj = Haro-haro = Guru = Gori.
4.
Kerajaan
Haru
Karo (Kuta Buluh) adalah kerajaan terakhir, setidaknya di Sumatera
bagian
Utara yang ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Dan, tidak ada dalam
sejarah tentang adanya bangsa dan negeri Batak seperti yang
digembar-gemborkan seperti pada saat ini. Dan, tidak ada sejarahnya suku
bangsa Karo hidup di negeri Batak ataupun berajakan raja Batak. Yang
ada dan berkuasa di Karo: Sibayak-Sultan, Raja Urung, Pengulu, Pengulu
Kesain, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar