Selasa, 10 Juni 2014

GUA UMANG (MAKHLUK SAHABAT ORANG KARO JAMAN DULU)



GUA KEMANG, CERITA RAKYAT, KARO, SUKU KARO, LIMA MARGA
Batu Kemang Si bolangit Juni. 1906.
Sebongkah batu besar berdiri kokoh di atas sebidang tanah. Ada yang istimewa dari batu ini, ada pintu dan ruangan di dalamnya. Masyarakat setempat meyakininya sebagai rumah Umang, orang Bunian di Tanah Karo. Dahulu kala, terdapatlah sebuah kampung kecil di salah satu daerah di Tanah Karo. Kampung Uruk Rambuten, begitu masyarakat setempat menyebutnya. Hanya beberapa keluarga saja yang tinggal di sana. Rumah-rumah mereka mengelilingi sebuah pohon beringin besar. Kampung tersebut memang perkampungan kecil yang hanya dihuni marga Ketaren.


Alkisah, hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Opung (kakek) Ketaren. Sebagai seorang peladang, Opung mau membuka hutan yang masih berada tidak jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.
Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut, Opung bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke belakang. Orang-orang menyebutnya Umang.

“Mau kemana?” Umang bertanya pada Opung. Opung menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk berladang padi. Umang pun menawarkan bantuan kepada Opung, dengan syarat Opung tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Opung menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja melahirkan.

Akhir kata, Umang dan kawan-kawannya membantu Opung membuka hutan. Dalam satu hari, lahan seluas tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam. Sebelum senja, Opung kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mengatakan kepada istrinya, bahwa lahan untuk ladang sudah selesai dibuka, dan besok dia akan mulai menanam padi. Dia juga meminta istrinya untuk menyiapkan benih padi yang akan ditanam besok.
Sang istri pun heran, bagaimana bisa lahan seluas tiga hektar dapat diselesaikan suaminya dalam waktu hanya satu hari. Dengan hati bertanya-tanya, dia tetap menyiapkan benih padi yang akan ditanam.

Keesokan harinya, Opung sudah berada kembali di ladangnya dengan membawa benih padi yang akan ditanam. Namun tak disangka, Umang marah padanya karena dia telah mengingkari janji. Opung sama sekali tidak mengerti kenapa Umang bisa menuduhnya seperti itu. Padahal dia tidak pernah membawa perempuan atau anak kecil ke ladangnya. Tiba-tiba saja, istri dan anak Opung sudah berada di belakangnya. Ternyata, istri Opung diam-diam mengikutinya karena rasa penasaran yang tak tertahankan. Perjanjian Opung dengan Umang pun batal. Semuanya berubah menjadi hutan kembali seperti sedia kala. Mendapati itu, Opung marah besar. Namun apa daya, nasi sudah jadi bubur.

Besoknya, Opung kembali membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang padi. Selama berhari-hari akhirnya Opung pun berhasil membersihkannya. Ketika itulah ditemukan batu besar yang disebut Gua Kemang. Hingga saat ini, batu besar tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai rumah Umang yang pernah membantu Opung.

Cerita Mistik Gua Kemang

GUA KEMANG, CERITA RAKYAT, KARO, SUKU KARO, LIMA MARGA
Batu Kemang Si bolangit Juni. 1906.
   Umang” merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Seperti diceritakan oleh Tolen Ketaren, fisik dari Umang seperti manusia, tapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang. “Itu kata orang yang sudah pernah melihatnya. Seperti orang bunian,” jelas Tolen setelah menceritakan kisah asal muasal Gua Kemang yang dipercayai masyarakat setempat. Sekitar tahun 1970-an, menurut Tolen, masyarakat masih sering bertemu dengan Umang. Bahkan ada juga masyarakat yang dibawa ke hutan oleh Umang. “Tapi kalau balik, ada kurang-kurangnya,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Desa Sembahe pada 2001-2007 ini. Dulunya, Gua Kemang yang diyakini sebagai rumah Umang ini dikenal juga dengan nama Gua Umang. Karena mistis, banyak orang yang bertapa dan membawa sesajen ke sana. Bahkan dulu, setiap orang yang lewat di daerah Sembahe, selalu singgah dan menyembah batu ini. “Makanya dibilang Sembahe. Asal kata dari ‘semba e’, sembah ini. Sembahe dulu di kampung itu,” jelas Tolen.

Dulu gua batu ini juga bisa tiba-tiba menghilang, raib entah kemana. Menurut keyakinan masyarakat di sana, hal itu berarti ada Umang yang menempatinya. “Kadang nampak batunya, kadang tidak. Kata orang, kalau umangnya sudah pergi, baru nampak batunya,” ujar Tolen. Seperti dikisahkan Tolen lagi, menurut cerita dari orang-orang tua di sana, terdapat jalan bawah tanah dari Gua Kemang menuju sebuah batu besar lainnya. “Secara magis, ada jalan bawah tanah dari gua batu itu ke Batu Penjemuren, tempat jemuran padi si Umang,” cerita bapak berusia 46 tahun tersebut. Batu Penjemuren sendiri merupakan batu besar dengan bagian atasnya yang datar. Batu ini berada di pinggir Sungai Sembahe, sekitar satu kilometer dari Gua Kemang. Namun jalan bawah tanah tersebut tidak pernah ditemui oleh Tolen.

Gua batu yang ditemukan oleh masyarakat setempat pada zaman penjajahan Belanda ini, pernah hendak diangkat untuk dipindahkan ke Belanda. Tetapi tidak bisa dipindahkan. Tolen sendiri pun tidak tahu kenapa gua batu ini tidak bisa diangkat. Mungkin ada kaitannya juga dengan kekuatan magisnya. Sebagian masyarakat meyakini bahwa hingga saat ini kadang-kadang masih ada yang menghuni gua batu tersebut. “Konon, sekarang masih ada penghuninya,” kata Hendri, pemuda setempat yang menemani saya menuju lokasi Gua Kemang. Kampung Uruk Rambuten yang dianggap sebagai awal Desa Sembahe, sampai saat ini masih dikenali. Namun tak ada lagi penduduk yang menghuni kampung tersebut. Kampung Uruk Rambuten berada di dekat lokasi jatuhnya pesawat Garuda Indonesia pada 26 September 1997 lalu. Menurut Tolen, ada kemungkinan pesawat tersebut jatuh karena tersangkut pohon beringin besar yang tumbuh di tengah-tengah kampung Uruk Rambuten.

Situs Budaya yang Terbengkalai

GUA KEMANG, CERITA RAKYAT, KARO, SUKU KARO, LIMA MARGA
   Gua Kemang berlokasi di Kampung Durintani, Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Tepatnya berada di lahan perkebunan seorang penduduk yang juga bermarga Ketaren. Untuk menuju lokasi gua batu ini, kita dapat berjalan kaki sejauh satu kilometer dari simpang Durintani, arah kanan dari Medan. Tidak susah menemukan simpang Durintani. Ada sebuah plang dari semen yang terdapat di simpang tersebut. “Situs Gua Kemang (Gua Batu), Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, Proyek Pembinaan Kebudayaan APBD Tingkat I Sumatera Utara,” itulah yang tertulis di sana. Ternyata gua batu yang diyakini oleh para arkeolog sebagai peninggalan manusia pra sejarah ini sudah menjadi salah satu situs budaya milik pemerintah.
Jalan aspal mengawali perjalanan menuju gua batu. Namun separuh jalan setelahnya kita terpaksa melewati jalanan berbatu yang sedikit menanjak. Cukup menguras keringat juga. Apalagi mengingat kondisi tubuh saya yang sudah lama tak pernah berolahraga. Terasa cukup lama juga kami berjalan kaki, mungkin lebih setengah jam. Akhirnya pintu masuk menuju gua batu ini sudah berada di depan mata. Namun sebuah kondisi yang cukup mengiris hati akhirnya menyambut kami. Pagar dan tembok yang menjaga situs budaya ini sudah berlumut. Begitu pun tangga yang akan mengantar kami hingga ke atas, di mana gua batu berada. Ukiran yang tertulis di tembok pagar sudah hampir tak terbaca akibat lumut yang begitu tebal. “Pernah dibangun parkir dan jalannya oleh Kanwil Depdikbud tahun 75-an. Namun tidak berkembang,” ujar Tolen seakan-akan mengerti pertanyaan yang muncul di benak kami.

Kami pun melanjutkan sisa-sisa perjalanan, menempuh puluhan tangga hingga sampai ke lokasi Gua Kemang yang berada di bagian atas kebun. Kondisi gua ternyata tak jauh beda dengan apa yang kami jumpai sebelumnya. Lumut tebal menyelimuti dinding luarnya. Dua relief serupa manusia yang diyakini sebagai bentuk sosok Umang tersebut tak lagi terlihat jelas.“Dulu batu ini besar. Ada batu-batu lain juga di sekitar gua. Batu-batunya seperti meja, kursi, tapi dirusak Belanda. Ada yang dibuang, ada yang dimasuki ke kantong plastik. Tapi tidak tau yang mana yang diambil,” cerita Tolen menjelaskan lagi tentang Gua Kemang yang berada di bawah sebuah pohon rambe, sejenis pohon langsat.


GUA KEMANG, CERITA RAKYAT, KARO, SUKU KARO, LIMA MARGADi bagian depan gua, ada lobang kecil berukuran sekitar 50 x 50 cm dengan pahatan berbentuk segitiga di bagian atasnya. Semacam pintu bagi rumah Umang. Di dalam gua hanya terdapat satu chamber berukuran sekitar 3 x 2 meter dengan tinggi sekitar satu meter. Bagian atas dalam gua mirip dengan atap rumah biasa, mengerucut ke atasnya.

Di sisi kanan dan kiri dalam gua, ada dua undakan, seperti tempat tidur. Sedangkan di sebelah kanan ada ruangan kecil memanjang. “Mungkin dapurnya Umang,” ujar Hendri. Atau mungkin tempat tidurnya bayi Umang?

GUA KEMANG, CERITA RAKYAT, KARO, SUKU KARO, LIMA MARGASelain itu, terdapat juga ukiran-ukiran serupa tulisan Arab di dalam gua di bagian atas pintu. Menurut Tolen, mungkin saja itu tulisan Karo, karena jika dilihat dari bentuknya, tulisan Karo hampir mirip dengan bentuk tulisan Arab. Namun tidak jelas juga kepastiannya karena di beberapa bagian dinding dalam gua juga banyak coretan-coretan manusia yang iseng mengukir namanya di sana. Rusaklah sudah!
Namun yang paling perlu diperhatikan di sini adalah kondisi Gua Kemang. Cukup memprihatinkan, mengingat gua ini pernah dijadikan sebagai salah satu situs budaya di Sumatera Utara. Jika pemerintah sekarang tak mengindahkan ini, bisa saja Gua Kemang benar-benar akan hilang untuk selamanya.

Cerita Rakyat Karo CINCIN PINTA PINTA


Dalam bahasa karo

 
 
Lit mekap nina turi-turin si adi. Kuta si tergelar Juma Raja, tersinget me kap kerna Pengulu Juma Raja si sehkel jagona erjudi, melala enggo harta i pepulungna perban menang rusur erjudi. Gia Pengulu e mbue hartana tapi la lit anak i pupus kemberahenna. Enggo ndekah Pengulu e ersura-sura gelah lit min anak i tengah-tengah jabuna, tapi aminna enggo gia bage lenga bo ibere Dibata sura-surana. Bas sada berngi ernipi me kemberahen, lanai ndekah nari lit anak ipupusna. Tuhu senang kel ukur kemberahen, pepagi warina ikatakenna nipina e man Pengulu. Tuhu kai sinipiken kemberahen sebab lanai ndekahsa, menuli kula kemberahen janah ipupusna me sada anak diberu si mejile kel rupana bali ras nandena.

Wari tande ku wari, bulan tande ku bulan, anak diberu e reh galangna. Tersinget me kap kerna Pengulu, talu rusur erjudi enggo keri kerina harta bas jabuna, utangna pe mbue. Perban talu rusur erjudi perangaina pe lanai bagi si gelgel. Anakna si tonggal rusur me irawaina, tempa-tempa perban anak e nge ia rusur talu erjudi. Perban talu rusur erjudi janah utang si belang-belang terpaksa Pengulu ras kemberahenna bagepe anakna lawes i kuta e nari itadingkenna kesain si mbelang. Sedakkel nge pusuh peraten kemberahen perban ulah perbulangenna tapi uga ibahan ia labo kap pang ngolang-ngolangi kebiasaan Pengulu erjudi. Enggo ndauh kalak enda erdalan, piga-piga kuta enggo terlewati, seh me Pengulu ras kemberahen bage pe anak e i tengah-tengah kerangen rimbun raya si seh kel angkerna, sebab labo pernah pang jelma reh ku je. Ipajekken Pengulu me sada sapo si kitik-kitik inganna tading, nakanna ibuatna bulung-bulung bagepe gadung garang si lit i kerangen e.

Bas sada wari ersura-sura Pengulu nadingken kemberahen ras anak i kerangen, la ngasup ia natap kemberahenna rusur tangis ngandung, bagepe anakna si tonggal. Bas sada berngi lawes me Pengulu erbuni-buni itadingkenna ndeharana ras anakna si sangana tunduh. Enggo kenca terang wari, medak me kemberahen ras anakna "Nande !" nina anak e. "Kai nakku ?" "Ija Bapa nande ?" "Eh… mungkin Bapandu ndarami nakanta nakku nina nandena." Ndekah itimai nande ras anak Pengulu mulih ku sapo maba pangan tapi si man timanken labo reh. Wari tande ku wari bulan tande ku bulan Pengulu lalap la multak-multak, tading me kemberahen ras anakna dua-dua i tengah-tengah kerangen rimbun raya. Ceda kel ukurna perban itadingken Pengulu, tangis bas pusuhna natap-natap anakna lanai erbapa. Piga-piga kali icubakenna nadingeken anakna sisada, tapi la ia ngasup nadingkensa. "Kuja naring pepagi percibal anakku, adi kutadingken sisada i tengah kerangen enda, terjelpa-jelpa sisada," nina pusuh peratenna.

Bas sada berngi sangan anakna tunduh laweska me nande e nadingken anak si tonggal. "Anakku, tading me kam i jenda sisada," nina kemberahen janah tangis iemana ayo anak e iluhna mamburen ku ayo anakna si sangana tunduh. Erdalan me kemberahen nadingekan buah barana nadingken pusuh peratenna si getem. Ndauh enggo itadingkenna sapo ingan anakna tunduh, la ndekahsa jumpa me ia sada batang kayu si galang, ibuatna perembah, atena ndelis me ije. Terang kenca wari medak me anak si tonggal, i idahna lanai lit nandena i sampingna. "Nande! Nande," nina ngelebuh , idaramina ku kenjahe idaramina ka ku kenjulu, tapi nandena la iidahna, tangis ia iluhna nurcuren.

"O nandeku! Engkai kel aku itadingkenndu!" "Sisada kel aku i tengah kerangen enda, kuja kel pepagi percibal anak melumang enda nandengku!" La gejap enggo ertahun-tahun anak e ndarami nandena, bas sada wari jumpa me ia sada batang kayu si sehkel galangna idahna bas sada dahan lit perembah erjuntai-juntai i terpang angin si lumang, ideherina dahan e, janah itandaina perembah e bekas perembah nandena si sangana ia i didong doahken. Teruh batang kayu e ijumpaina lit tulan-tulan. "Nandengku bagenda kepe jadina, lawes kel kam nadingken anak melumang terjelpa-jelpa cibal geluhna." Janahna tangis i pepulungna tulan-tulan e ibungkusna mejile jenari lawes ia ngisari kerangen si mbelang. La ndekahsa ijumpaina sada gua si seh kel angkerna, kubas me ia. Isiarina gua e alu mbiar reh ndekahna reh kubasna ka ia. La gejapna arah lebena nganga babah nipe si seh kel galangna, banci sada anak kerbau siat kubas.

"Andiko nande! mate naring sekalenda anak melumang" nina nggirgir. "Oh.. nini i panndu saja anak melumang enda, nggeluh pe terjelpa-jelpa, adi ipanndu banci nge aku jumpa ras nandengku si enggo nadingeken aku." Idudurkenna tanna ku babah nipe e, tapi la pan nipe e ia, kenca itarikna tanna mulihi maka enggo teridah bas jari manisna sada cincin si mejile. "O… kempu!" nina nipe e. "Ula kam mbiar, cincin ena gelarna cincin pinta-pinta, kai kari ipindondu banci nge iberekenna," nina nipe e.

Bas sada wari reh me ku kerangen e sekalak pemburu, melala beras ras pangan si deban ibabana, ijumpaina me gua si galang. Itadingkenna me beras e ije, jenari lawes ia erburu ku tengah kerangen simbelang. Anak melumang e pe tading ibas gua e, tapi ia tading terdauhen ku bas, maka ipindona me man cincin e beras gelah banci ia man, rempet me lit i lebe-lebena beras, bagepe pemburu enda lit datna buruanna mulih ka ia ku gua, lanai lit idahna beras si tadingkenna ndube. Bagem rusur tiap-tiap wari, adi ipindona beras maka bene me beras pemburu e. mamang ukurna uga maka tiap itadingkenna beras ije bene rusur.

Bas sada wari ndarat me anak melumang e i gua nari atena ndarami lau man inemen, rempet lit idahna sekalak jelma ije. "Ise nge ndia jelma enda arih," nina pusuhna. Pang naring ia ku jenda, labo pernah lit jelma pang ku kerangen simbelang enda. Pemburu pe la tanggung senggetna ngidah singuda-nguda e salu gugup ras mbiar isungkunina me singuda-nguda e, ras ise ia tading i kerangen simbelang si dem binatang buasna. Ituriken anak meluman ise ia uga makana ia tading sekalak i tengah kerangen e. sengget pemburu megi-megi ranan anak melumang.

"Adina bage agi! mari sitadingken kerangen enda." Lawes me pemburu ras anak melumang, itadingkenna gua inganna jumpa. La ndekahsa seh me kalak enda ku sada kuta, ije me pemburu tading. Enggo ndekah anak melumang tading ije, bas sada wari ersura-sura pemburu muat ia jadi kemberahenna. Sehka me pesta perjabun pemburu ras anak melumang. Seh kel nge riahna ukur kalak si enterem ngidah pengantin duana. Lit deba atena ngidah pengantin si diberu si mejile rupana. Sengget tua-tua entah pe nande-nadne ngidah ayo anak melumang perban pernah nge idahna ayo sibage jilena. Erkusik-kusik ia sapih ia. La kin ia anak Pengulu mbarenda si talu erjudi ndube arih, balikel ayona ras kemberehen Pengulu ndube, bagem nina cakap nande si ngidah ayo pengantin si diberu. Megi-megi ranan si e kerina sedakkel pusuh anak melumang, la igejapna naktak iluhna ku ayona si mejile. Ngerana me ia salu iluhna mamburen ku ayona.

"Payo tuhu katandu kerina, aku kap anak Pengulu si talu erjudi, lawes kami mbarena i kuta Juma Raja perban melala utang bapa, ertahun-tahun kami tading i kerangen simbelang. Itadingken bapa aku ndube ras nande i tengah kerangen, bage pe nande la ndekahsa lawes nadingken aku sisada, nande enggo lawes nadingken doni, nadingken aku sisada rasa lalap. Enda ku baba tulan-tulan nande ndube, ibuatna bungkusen e janah itamakenna ku lebe-lebe si enterem. Tangis kerina jelma si megi-megi ranan anak melumang, wari kin pe ndai melas rempet reh udan, tempa-tempa megogo atena megi ranan anak melumang e. Bagem kedungenna anak melumang, nggeluh erbahagia ras perbulangenna. Kerina bentuk perjudin enggo ihapusken bas kuta e sebab judi nge erbahansa kegeluhen la senang. Perban judi nge anak rate mesui.
 

Pawang Ternalem: Kisah Orang Terbuang


Penulis : Martin L. Peranginangin
Banyak jalan menuju Roma. Itu ungkapan diketahui oleh banyak orang. Tapi tidak banyak yang tahu siapa yang mula-mula membangun kota Roma. Kisahnya, kira-kira tahun 753 SM, Romulus dan saudaranya Remus membangun permukiman Palatine di Italia. Dan itulah cikal bakal kota Romawi. Bila saja mereka hidup sekarang, pastilah mereka takjub melihat kemegahan kota Roma. Salah satu kota pusat peradaban dunia, pusat pemerintahan, dan belakangan menjadi pusat perhatian dunia berhubungan dengan Vatikan. Menurut sejarah Romulus dan saudaranya adalah orang buangan. Mereka dibuang ke hutan oleh ibunya, dan konon mereka disusui oleh serigala sehingga akhirnya ditemukan dan diasuh oleh Faustulus seorang penggembala sampai akhirnya mereka dewasa.


Kisah ini hampir sama dengan Pawang Ternalem, kisah anak buangan yang kemudian menjadi pawang (orang hebat) versi drama Karo yang dikarang seniman besar Karo tahun 1980-an, Hendri Bangun. Cerita ini ternyata diangkat dari kisah nyata kehidupan masyarakat Karo tempo doeloe. Cerita itu mengisahkan seorang bayi yang dibuang karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Paradigma orang Karo kala itu, bayi itu harus dibuang, karena bila diasuh maka akan membawa sial bagi keluarganya. Seperti kisahnya Pawang Ternalem, kematian ibunya kemudian disusul oleh ayahnya. Yang akhirnya ia dibuang di bawah kolong rumah (teruh karang). Ia kemudian hidup dan menyusui pada anjing dan babi.
Cerita rakyat Karo menunjukkan bahwa kelahiran bayi yang membawa kematian ibunya adalah bayi sial. Bayi ini dianggap pembawa malapetaka atau disebut `tendi nunda". Kebiasaan jaman dahulu, bayi- bayi seperti Pawang Ternalem ditaruh disisi mayat ibu nya seolah-olah menyusui pada ibunya kemudian ditelungkupkan sehingga mayat ibu menindih si bayi sehingga ia pun mati. Biasanya hal ini dilakukan secara diam-diam. Atau biasa juga di taruh di pintu gerbang kampung sehingga meninggal terinjak rubia-rubia. Bila pihak keluarga tidak tega melakukan hal yang tergolong `pelanggaran HAM" berat itu, paling- paling si bayi di taruh di teruh karang.
Tragedi itu sudah berlalu ratusan tahun yang lalu, sebelum terjadi pencerahan yang dimotori oleh para Missionaris yang datang ke Tanah Karo. Suatu ketika, peristiwa ini dialami sendiri oleh Pendeta J.K. Wijngaarden di daerah pelayanannya sekitar tahun 1920-an. Selain sebagai seorang pendeta, ia juga seorang mantri yang sering mengobati orang. Keahlian di bidang kesehatan adalah entry point baginya untuk menarik minat masyarakat belajar tentang agama. Sebab dataran tinggi Karo waktu itu sering sekali diserang wabah kolera dan kusta yang tidak man jur diobati oleh Guru Mbelin. Dalam peristiwa itu, ia melihat bagaimana pihak keluarga tidak mengharapkan kehadiran bayi `sial" itu. Lantas, atas persetujuan semua pihak, Wijngaarden kemudian mengadopsi anak itu lalu ia beri nama Sangap. Akhirnya beberapa waktu kemudian Sangap pun dibabtis, dan terakhir ia kemudian menjadi guru agama. Untuk menanggulangi kasus seperti Sangap, tahun 1925 Rumah Sakit Zending mendirikan panti penitipan bayi. Pada tahun 1926 terdapat lebih 100 orang bayi dirawat ditempat ini. Artinya, banyak sekali terjadi kasus ibu yang meninggal di saat melahirkan.
Ketika Sangap sang pawang ternalem menjadi guru agama, ia tidak menjadi berita besar seumpama Romulus dan adiknya. Tetapi ia telah menjadi icon perubahan besar bagi orang Karo. Perubahan paradigma! Bahwa ibu yang meninggal tidak ada hubungannya dengan takdir seseorang melainkan faktor kesehatan. Pergolakan itu sangatlah besar. Missionaris b erperang dengan roh-roh para dukun, dan gunjingan orang yang belum memahami tentang itu.
Suatu kali dalam kehidupan kita, mungkin bertemu dengan situasi yang dialami Romulus atau Sangap dalam versi yang berbeda. Kita merasa terbuang. Diabaikan. Merasa ditentang dari semua penjuru. Seperti lagu Karo, layam-layam si tangke ndoli: "Naktak pe la lit si ngulihisa, mombak pe la lit si nangkapsa". Hidup sepertinya tanpa makna. Namun sebagai orang yang percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan perbuatan tangannya. Kita ada di dunia karena Tuhan punya rencana yang besar. Bila kita memiliki iman, rancangan Tuhan tidak pernah meleset. Kini kita tidak mengerti, kelak kita disadarkan oleh kenyataan.

Minggu, 08 Juni 2014

Ornamen Tradisional Suku Karo

Saya bukanlah seniman, sejarahwan ataupun budayawan, tetapi saya hanyalah salah satu dari masyarakat bangsa karo yang mencintai budaya karo, melalui tulisan ini saya ingin lebih memperkenalkan suku karo kepada khalayak umum dan juga sebagai sarana bagi saya untuk lebih memahami budaya dari suku saya sendiri.karena dengan membuat tulisan ini saya harus membaca banyak artikel & buku mengenai suku karo

Seperti kita ketahui, rumah adat karo adalah rumah yang sangat unik, selain Tahan Gempa dan desain arsitekturnya yang sangat mengagumkan, rumah adat karo juga dihiasi dengan berbagai ornamen yang menarik. Apa yang dimaksud dengan Ornamen ?, Ornamen berasal dari bahasa Yunani dari kata ‘’ornare’’ yang artinya hiasan atau perhiasan. Ornamen atau ragam hias itu sendiri terdiri berbagai jenis motif. Ornamen tersebut dibuat untuk menghias suatu bidang atau benda,sehingga benda tersebut menjadi indah. Contohnya  hiasan kulit, buku, piagam, kain batik, vas bunga, dll. Pada mulanya ornament tersebut berupa garis lurus, garis patah, garis miring, garis Sejajar, garis lengkung, dan sebagainya yang kemudian berkembang menjadi Bermacam-macam bentuk yang beraneka ragam coraknya.

Ornamen pada rumah adat karo merupakan suatu desain tradisional yang bernilai tinggi, berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan juga sebagai Simbol dan Kearifan Lokal. Oornamen pada rumah adat karo dibuat atau diletakkan pada bagian depan rumah (ayo-ayo), bagian dapur (dapur-dapur), dan pada bagian dinding(derpih). Selain itu pada atap rumah pasti akan deiletakkan dua atau empat kepala kerbau lengkap dengan tanduknya, kepala dan tanduk kerbau ini dipercaya sebagai lambang kekuatan pada masyarakat karo. Ornamen tersebut meliputi :
1.       Ornamen Pengeret – eret
Seperti gambar diatas, pengeret – eret berbentuk cicak dengan dua kepala ke arah kanan dan kiri. Ornament ini berfungsi sebagai kekuatan untuk menolak bala, ancaman dari roh jahat terhadap penghuni/pemilik rumah dan juga untuk persatuan keluarga. Ornament ini terbuat dari anyaman ijuk dan diikatkan kebagian dinding depan rumah sebagai pengganti dari paku.
2.       Ornamen Tapak Raja Sulaiman
Tapak sulaiman bermotif geometris yang membentuk segi empat dan disetiap sisinya membentuk simpul. Nama ornament ini diambil dari nama seorang raja yang dianggap sakti, dihormati dan ditakuti oleh makhluk – makhluk jahat. Ornamen Tapak Raja Sulaiman dipercaya dapat  menolong masyarakat karo agar terhindar dari ancaman niat jahat, baik yang datang secara nyata maupun tidak nyata. Ornamen ini memilikimakna kekeluargaan dan kekuatan.
3.       Ornamen Tupak Salah silima – lima
Motif ornamen berupa garis menyilang yang membentuk gambar bintang di langit. Ornamen ini melambangkan kekeluargaan merga silima sebagai sistem sosial masyarakat Karo yang utuh dan dihormati. Kesatuan dimaknai sebagai kekuatan karena kekuatan masyarakat Karo pada hakikatnya terletak pada kebersamaan yang dibangun. Kelima merga tersebut adalah merga induk yang diikat oleh struktur sosial dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ornamen tak lain sebagai penolak niat jahat dari adanya keinginan yang hendak mengganggu keutuhan merga silima.
4.       Ornamen Desa Siwaluh
Bentuknya bergeometris, membentuk seperti bintang dengan delapan bagian yang berfungsi sebagai penunjuk arah mata angin, ornament ini juga berfungsi untuk menentukan arah yang baik dan buruk. Kedelapan penjuru mata angin tersebut adalah sebagai berikut :
-          Purba : Timur,
-          Aguni : Tenggara,
-          Daksina : Selatan,
-           Nariti : Barat Daya,
-           Pustima : Barat,
-          Mangabiya: Barat Laut,
-          Utara : Utara,
-           Irisen : Timur Laut
5.       Ornamen Bindu Matagah
 Bentuk dasarnya berupa gambar garis yang membentuk garis silang dan memutar semua garis tersebut saling terhubung, simbol ini berfungsi untuk menyingkirkan hal – hal yang tidak baik, agar terhindar dari binatang buas . Bindu Matagah juga adalah simbol dari istri Raja Sulaiman yang ada hubungannya dengan kekuatan batin.
Selain ornamen – ornamen di atas masyarakat karo juga masih memiliki banyak ornamen lainnya seperti :
Ornamen Ipen-ipen, Ornamen Para-para/Gundur Mangalata, Oranamen Tanduk Kerbo Payung, Oranamen Bendi-bendi,  Ornamen Tampuk-tampuk Pinang, Ornamen Pucuk Merbung, Ornamen Tulak Paku Petundal, Ornamen Tutup Dadu dan Cimba Lau, Ornamen Bindu Matoguh, dan lainnya. Pada masyarakat karo semua ornamen tersebut memiliki makna dan fungsi masing masing dan semua nya itu adalah merupakan lambang/simbol dari kearifan local masyarakat karo  
 
Mejuah-juah Sob.

Jumat, 06 Juni 2014

MENGENAL SUKU KARO DARI CATATAN SEJARAH

Karo(Aru/Haru) adalah suku asli yang mendiami Sumatera bagian utara, timur, dan tengah. Dipercaya, dahulu kala daerah Karo(Aru/Haru) ini didiami oleh suku bangsa yang bernenek moyangkan Karo(Aru/Haru) yang dikemudian hari diyakini dari nenek moyang Karo inilah lahirnya Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5.Peranginangin) dan selanjutnya dari Merga Silima itu, terlahir cabang(sub-) merga serta sib(rantingnya). Namun, dalam perjalanan suku bangsa Karo ini, terjadi invasi-invasi dari beberapa suku bangsa baik yang memiliki pertalian dekat maupun jauh dengan Karo itu,  yang dimana sebahagian besar mereka diindikasikan dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Palawa, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa), dll., yang kemudian berbiak, membentuk klan-klan-nya, beradaptasi(bukan membentuk budaya Karo itu) dengan budaya Karo Tua(Proto Karo),  kemudian kelompok tersebut merasuk ke Karo itu dan menjadi bagian dari Merga Silima tersebut, atau dengan kata lain menjadi sub/sib merga Merga Silima(baca etimologi marga). Diyakini juga, masa invasi-invasi ini berlangsung cukup lama, setidaknya sekitar 200 tahun Sebelum Masehi(SM) hingga masa masuknya Hindu sekitar awal abad ke-13 Masehi, maka pada invasi ini mereka bukan membentuk namun beradaptasi dengan budaya Karo yang telah ada walau tidak dapat dipungkiri jikalau mereka juga turut serta dalam menambah variasi dari tradisi budaya Karo itu.

Keberadaan suku bangsa Karo diyakini sudah ada jauh sebelum abat I(pertama) tahun Masehi, hal ini juga ditunjukan dengan keberadaan kerajaan Aru(Haru-Karo) yang dimana diyakini berdirinya sekitar awal-awal tahun Masehi, sehingga berkesimpulan dari tradisi ini, maka diyakini benih-benih Karo telah ada sebelumnya. Aru/Haru, merupakan salah satu kerajaan tua yang pernah berdiri di Pulau Sumatera tapatnya berpusat di wilayah Sumatera Utara sekarang, yang tumbuh dan berkembangnya bersamaan dengan beberapa kerajaan besar di nusantara, seperti: Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Johor, dll. Hal ini ditandai dengan adanya interaksi antara Aru/Haru dengan kerajaan-kerajaan tersebut, seperti: peperangan, interaksi pelayaran, agama, perdagangan; baik secara langsung maupun yang tersirat dalam bentuk sastra kelasik.
          
Gua Umang
Gua(rumah) Umang yang banyak ditemukan di  wilayah
             -wilayah Karodiyakini tempat tinggal manusia Purba.
Hipotesa akan eksistensi keberadaan suku bangsa Karo ini sudah ada sebelum memasuki tahun Masehi, dapat disimpulkan dari beberapa tradisi dan catatan sejarah yang ada.  Menurut sejarah perkembangan Pemerintahan Kota  Madya Daerah TK II Medan, tahun 1925 dan 1926, Vain Stein  Callenfels menemukan tumpukan kerang(kjokkenmondinger) dan peralatan manusia pra-sejarah berupa serpih bilah(flaked pubbel-tools), lempeng batu, dan alat tumbuk lainnya yang masih sangat kasar di perkebunan tembakau Serintis, Buluh Cina, Tandan Hilir, dll. Selain itu, di beberapa daerah Karo di Deli Sedang, Kab. Karo, Langkat, Gayo, dan Alas juga banyak ditemui gua-gua umang(cakap(bahasa) Karo, umang dipakai untuk menyatakan manusia yang masih primitif, hidup di gua-gua, dan pemakan kerang) yang didalamnya bertuliskan Karo(Surat Aru/Haru).  Hal-ini  dapat dijadikan sebagai bukti  dan membuat para  ahli menyimpulkan bahwa manusia purba telah hidup di wilayah Karo setidaknya sekitar 10.000 tahun lalu. Manusia-manusia purba ini hidup di wilayah Karo sekitar 4.500 – 2.500 SM yang kemudian terdesak(invasi) dan bercampur dengan ras Mongoloid dari daratan Asia 5.000 tahun yang lalu(Adat Karo hal. 15, Darwan Prints). Sehingga para ahli dan pemerhati sejarah Karo menganut teori bahwa suku bangsa Karo merupakan percampuran antara ras Negroid dengan ras Mongoloid. (Lihat juga: Temuan fosil manusia purba ber-DNA Karo dan Gayo berusia 74.000 tahun)

Titel:  "Groep der bevolking van Koetó Pinang"  Veldtocht met overste Van Daalen naar de Bovenlanden van Aceh expeditie Fotograaf:   H.M. Neeb Portret : Karo  (cultuur) Verv.jaar: 1904 Bron: [A17-46], Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde Source: geheugenvannederland.nl
Brahma Putro dalam bukunya yang berjudul “Karo dari zaman ke zaman” mengatakan kalau Aru/Haru telah ada pada abad I Masehi dengan raja pertamanya bernama Pa Lagan(kisah kebesaran Pa Lagan ini juga tersirat dalam Babat Sunda dan kitab Manimengelai karya pujangga populer India, Brahma Putro), yang berpusat di Teluk Haru(Langkat). Dan, penyebaran suku Karo ini meliputi keseluruhan wilayah Aru/Haru yang secara garis besar meliputi Sumatera bagian utara(termasuk Aceh), timur, dan tengah.  Keberadaan suku Karo di Aceh ini dikatakan Brahma Putro dengan adanya kerajaan Karo di Aceh dimana dikatakan juga raja Karo terakhir yang pernah berkuasa di Aceh bernama Manang Ginting Suka. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh H. Muhamad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” (1981), yang mengatakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan yang mirip Batak(walau tidak secara diteil dijelaskan). H. M. Zainudin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”(1961) menuturkan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan-kerajaan Islam juga ada berdiri kerajaan Karo, yang dalam logat Aceh disebut Karéé. Dan, beliau juga menambahkan bahwa penduduk asli bumi putra dari XXV Mukim bercampur dengan Karo, dan itu-lah yang disebutkan tadi diatas dengan Karéé.

KUTA RAJA sekarang BANDA ACEH; Titel:  "Kampong Koetö Radja"  Expeditie Veldtocht met overste Van Daalen naar de Bovenlanden van Aceh Fotograaf:   H.M. Neeb Verv.jaar: 1904 Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde Source : geheugenvannederland.nl
Sapo Karo di Kuta Raja (Banda Aceh)
           
Dikemudian hari, terjadi persengketaan antara suku Karo dengan kaum Hindu di Aceh, sehingga untuk menyelesaikan pertikaian ini disepakati diadakan perang tanding antara
tiga ratus(300) orang suku Karo melawan empat ratus(400) kaum Hindu di sebuah lapangan terbuka. Namun pada akhirnya pertikaian ini berakhir dengan damai, dan sejak saat itu suku Karo disana disebut kaum tiga ratus atau Kaum Lhee Reutoih dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Kemudian hari terjadi percampuran antara suku Karo dan kaum Hindu, dan kelompok percampuran ini disebut dengan Kaum Jasandang.

           
Kuta Raja sekarang BANDA ACEH Titel: "Roemah Perendèn bij Koetö Radja"  Expeditie Veldtocht met overste Van Daalen naar de Bovenlanden van Aceh Fotograaf:   H.M. Neeb Verv.jaar: 1904 Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde Source : geheugenvannederland.nl
Sapo Karo di Kuta Raja (Banda Aceh) 
Selain dari pada apa yang telah dikemukakan diatas, keberadaan suku Karo di Aceh juga mendapat konfirmasi dari sejarah kerajaan
Nagur(di Sumatera Timur sektar abad ke-5 Masehi) yang juga tersirat dalam sejarah suku bangsa Simalungun, yang dimana diceritakan  saat ke-empat raja besar dari Siam dan India hendak mengimvasi wlayah sekitar Aceh dan Langkat(Sumatera Utara) dihadang oleh penduduk suku asli, dan mungkin saja yang dimaksud adalah  Aru/Haru(Karo) mengingat penduduk yang mendiami perbatasan Aceh dan wilayah Sumatera bagian utara adalah etnis Karo. Dan, juga dapat kita lihat dari beberapa nama tempat di Aceh yang sangat identik dengan dialek , bahasa, dan tradisi Karo, seperti: Kuta Raja(sekarang Banda aceh), Kuta Bunjei(Bingei) di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cané, Belang Kejeren, Belang Bintang, Belang Pidie, Lau Sigalagala, Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga, Danau Lau Tawar, Lau Binge, Simpang Simadam, Semelue(mungkin Simalem), dll.


       Diyakini, Hindu sudah masuk ke nusantara, juga ke Karo(Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi, dimana dipercaya aksara Palawa(wenggi) mulai diperkenalkan bersaman dengan bahasa Sansekerta, dan diikuti oleh Budha lima abad kemudian (abad ke-5 M) bersamaan dengan masuknya aksara Nagari yang diyakini menjadi cikal bakal lahirnya Tulisen Karo(Surat Aru/Haru), aksara Melayu Kuno, Jawa Kuno, Batak, dll. Mereka(misionaris zending Hindu) merupakan penganut Senata Dharma. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun1879 M. Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan. Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran  membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang.  Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 M karen terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan serdadu dan pedagang Arab serta Turki(ada beberapa ahli berpendapat jikalau mere terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh), maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo (di Kabupaten Aceh Tenggara), dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian mendirikan kuta(kampung) Lingga, serta Sembiring Singombak yang diantaranya: Sembiring Brahmana, Pandia, Colia, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi(Pahlawi/Palawa), Bunu Aji, Muham, Busok, Meliala(Maliala/Milala), Maha, Tekang(Teykang), Pande Bayang, dan Kapur. “Bayangkan, bangsa dari negeri yang jauh berlayar ke nusantara dengan peradaban yang tinggi harus berbaur dan mau mengaku Karo demi sebuah kehidupan. Dari hal ini dapat kita asumsikan kalau Haru(Karo) itu adalah tempat yang nyaman bagi seluruh bangsa dan juga telah memilik peradapan yang tinggi pula.”
Guru Patimpus Sembiring Pelawi pendiri Kota Medan
Monumen GURU PATIMPUS PELAWI
Menurut tafsiran(berdasarkan data yang ada), kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil yang sudah berbiak dan ber-merga di Karo itulah membawa budaya Hindu ke Karo dan diadaptasikan dengan kepercayaan pemena yang telah ada di Karo, dan bukan tidak mungkin Pemena sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika ditinjau dari segi bahasa, Pemena=pertama, awal, dasar. Bandingkan dengan Senata Dharma(Hindu) yang juga berarti senata = awal, dasar, dll; dharma = ajaran, kepercayaan, dll; jadi, Senata Dharma = kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi ini kita sepakat, bukan? Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja. Ada beberapa tradisi Pemena yang sama dengan Senata Dharma, diantaranya: upacara Pakuwaluh(membakar dan menghanyutkan abu jenazah) yang dilakukan di Lau Biang(Lau: sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan panjang sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka dan dari sana dengan tuntunan roh-roh akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di Sungai Gangga di India.

Bukan itu saja, banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di Selatan India, antara lain: masyarakat Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan mangmang/tabas(mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu melantunkan mantr; Mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir, ergunting, erkiker(memotong gigi), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena). Ikuti link ini: http://karosiadi.blogspot.com/2012/12/pencak-gelang-gelang-mulih-mulih.html dan dengarkan lagu ke-5, dimana seorang melantunkan mangmang/tabas(mantra) Karo (Title : Sumatra. 14, Berastagi and Kampung Doulu, Kabanjahe, North Sumatra; Creator : Margaret J. Kartomi; Contributor : Monash University. Faculty of Arts. School of Music-Conservatorium; Date : 1971; Recording session 1 (30 Dec. 1971 in Berastagi) : No.1. Pencak (continued from MK1-SUM0147) ; No.2. Gelang-gelang ; No.3. Pencak ; No.4. Mulih-mulih ; No.5. Mantera)

Dalam hal seni, beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget(cengkok) Karo yang hampir sama dengan cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune(serunai) yang tinggi di Karo yang endekna(cara permainannya) sama seperti teknik vocal wanita di India, serta beberapa perkusi Karo yang juga serupa dengan yang ada di India.

     Berdasarkan pada catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien yang melakukan perjalanan di tahun 414 M, Aru/Haru sudah ada walau tidak dijelaskan letaknya secara pasti. Dan, abad ke-9 M kembali muncul beberapa nama kerajaan seperti: Rami(Lamuri[-di] di Aceh), Balus(Barus), Jahé(Sriwijaya), Melayu, dan Harlanj(Aru/Haru/Karo).

            Dalam tradisi Karo sendiri, dikatakan Haru berdiri sekitar tahun 685 M yang berpusat disekitar Teluk Haru(Langkat) dengan rajanya yang pertama bernama Pa Lagan. Dikemudian hari, karena seringnya terjadi peperangan di wilayah-wilayah Haru ini, maka pusat kerajaan mengalami perpindahan ke pedalaman Deli, namun karena saat itu tidak ditemukan kesepakatan akan pusat kerajaan dan kekuasaan maka pada akhirnya kerajaan ini terbagi atas beberapa kerajaan besar dan juga urung-urung. Adapun kerajaan-kerajaan pecahan Haru itu, diantaranya: Kerajaan Haru Mabar, Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan Haru Kuta Buluh, Kerajaan Haru Pasé, Kerajaan Haru Lingga Timur Raya, dan Kerajaan Haru Deli Tua.

     Tahun 860 M, Kerajaan Haru diserang oleh Sriwijaya(Jahé) di Teluk Haru(Langkat) tetapi tidak berhasil, namun banyak penduduk Haru yang pindah ke Alé(Deli Tua) dan Gugung (pegungungan/dataran tinggi Karo) untuk menghindari peperangan. Pada masa-masa inilah banyak masyarakat Aru/Haru(Karo) yang bermigrasi ke pegunungan, sehingga diyakini dimasa ini-lah awal munculnya sebutan kalak jahé(orang hilir) ataupun Karo Jahé(orang Karo dari hilir). Adapun peninggalan serangan Sriwijaya itu ialah para serdadu Sriwijaya yang tertinggal dan tertawan yang kemudian beradaptasi dengan budaya Karo dan masuk menjadi bagian salah satu dari merga Karo-koro sub-merga Karo-karo Paroka.

Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang telah menggunakan kata Munthé(Muté) ini dibelakang namanya, salah satunya adalah Ascricus van Munthe(1072) dari Vlanderen yang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun 1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Haru(Karo), Nagur(Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané(Mandailing), ya mungkin saja! Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai sejak abad ke-5 M. Bahkan di Norwegia, di abad ke-16 muncul Ludvig Munthe. Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia? Namun, jika ditinjau dari faktor waktu(tahun 1000 – 1500’an) dan geografis hal ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi Belanda, Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe(1593-1649) ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge. Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah keturunannya lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen(Belgia) adalah tanah asal leluhur mereka ( dokumen terlampir di: http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm | http://www.genealogy.munthe.net/  |  http://www.sverre.munthe.net ). Dari cerita diatas, maka timbullah pertanyaan besar: apakah Munte(Munthe) di Belgia, Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau bahkan satu nenek moyang dengan Munthe yang tersebar di nusantara? Dan, darimanakah alsal Munthe ini sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi misteri besar, tetapi setidaknya ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan Munthe itu lebih awal di utara Danau Toba(Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe itu sendiri, yang didukung oleh tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Seraggih Munthe(Simalungun), Dalimute(Labuhan Batu) Karo-karo Sinulingga(tradisi Karo) dan juga tradisi Simalungun.

Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang Anthrofologi ber-merga Munté yang tinggal di Madagaskar asal Norwegia mengunjungi Kuta Ajinembah(Tanah Karo/Larolanden), diantar oleh Pengurus Nomensen dan diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971 ). Beliau mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah di rumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur, penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan Marga Munthe, hal. 221).

seperti bunyi surat yang ditulis sdr. Severre Munthe,   bahwa seorang  Munthe pakai huruf “h” atau tidak pakai huruf “h” masa koloni monopoli dagang, tinggal di kampung  yang bernama Munte , bermasyarakat dan hidup turun temurun. (dalam dok. Dame Munthe: “MUNTHE DARI NORWEGIA?”). Ket: Kuta(Kampung) Munte terletak di Kab. Karo, Sumatera Utara dan sekarang menjadi nama sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Karo.
           
Photo GERITEN KARO di Istana Sultan Deli saat masih di Labuhan Deli. P.J. Verth, “Het Landschap Deli op Sumatera”;  TNAG, Deel II, 1877
Geriten Karo di Istana Sultan Deli (1877)
Tahun 1282 M diyakini menjadi tahun awal dimana munculnya satuan politik Aru(Haru/Karo), Artinya, ditahun ini-lah Haru(Aru) mulai secara luas dikenal(khususnya oleh bangsa Eropa) sebagai sebuah kesatuan politik(kerajaan/negeri), dan diyakini berdekatan dengan masa ini di pedalaman Samosir muncul sebutan Si Raja Batak. Hal ini sangat didukung oleh
beberapa studi-studi etnisitas dan pengkajian sejarah Batak, yang mengatakan jikalau Si Raja Batak ini muncul pada awal abad ke-13 Masehi, tepatnya di gunung Pusuk Buhit(di P. Samosir) yang hidup bersamaan dengan masa Kerajaan Haru(Karo), Padang Lawas dan Pane(Mandailing Tua), Sriwijaya(Palembang), Majapahit(Jawa), Pagaruyung(Minang), dll. Ditinjau dari aspek ruang dan waktu, tentunya Si Raja Batak pastilah rakyat atau aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas, atau- bahkan biasa juga merupakan penentang dari kerajaan-kerajaan tersebut, hingga membuatnya harus mengungsi ke pedalaman di Samosir. Ada beberapa pendapat yang mengatakan, Si Raja Batak adalah gubernur dari raja Pagaruyung di Tapanuli, hal ini didukung oleh adanya patung yang menyerupai apa yang ada di Pagaruyung dan dipercaya patung tersebut memang dibawa dari kerajaan Pagaruyung. Dan, Si Raja Batak sendiri secara berkala mengirim upeti dan menerima utusan-utusan raja Pagaruyung dengan baik sebagai pembuktian setia dan pengabdianya kepada raja Pagaruyung. Namun, tidak jarang juga ahli dan budayawan yang mendukung teori bahwa Si Raja Batak adalah pejabat Sriwijaya di Portibi, Padang Lawas, dan Timur danau Toba(Simalungun) yang dikemudaian hari harus mengungsi ke pedalaman Samosir akibat serangan dari Majapahit, dan gelar raja sendiri diberikan oleh keturunannya kepadanya bukan karena kekuasaan, melainkan oleh karena teladan serta untuk mengenang jasa-jasanya.

Tahun 1331 M dibawah pinpinan Maha Patih Gajahmada kerajaan Majapahit menyerang Haru, tetapi gagal menaklukkan Haru, sehingga beberapa serdadunya yang tertinggal dan tertawan menjadi rakyat Haru dan masuk menjadi salah satu merga Peranginangin dengan sub-merga Peranginangin Jab.

Dalam Sejarah Majapahit sendiri, nama Haru berulang kali disebut-sebut, hal ini menjadi bukti akan kebesaran Kerajaan Haru di-zaman itu dan menjadi salah satu negara kuat yang susah untuk ditaklukkan oleh kerajaan terbesar di nusantara ini(Majapahit), membuat seorang maha patih menjadi resah dan mengikrarkan sumpah akan menaklukkannya. Kisah ini juga dengan jelas diceritakan dalam buku “Karo dari Jaman ke Jaman” karya pujangga terkenal India yang bernama Brahma Putro. Berikut petikan sumpah palapa dari Maha Patih Gajah Mada, Patih Amangkubhumi Majapahit.

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit , tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai berikut:

Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".


Terjemahannya dalam cakap Karo:
          Enda me Si Gajah Mada puanglima simbelin si la erngadi-ngadi erpuasa. Ia Gajah Mada, “Ndia enggo ngalahken nusantara, maka kami pengadi puasa. Adina pepagi enggo naklukken Gurun, Seram, Tanjung Pura, Karo, Pahang, Dampo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, bage me siterjadi maka pusa enda i pengadi.”

Sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak Karo yang berasal dari Aji Nembah(Karolanden/Taneh Karo) sekitar tahun 1428 M menetap di Raja Simbolon dengan menunggangi horbo(kerbau) Sinanggalutu. Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si Munte dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo Nenggala Lutu ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut dalidan menanamnya kemudian tumbuh subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para tetangga menawarkan barter dengan menyebut dali – Munté dengan maksud “kacang mu o, Muté ” atau “minta kacangmu o, Munté ”. Sehingga dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.

Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411 M. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 M Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental (disebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu.) maupun dalam Sejarah Melayu. Dimana sebelumnya di tahun 1282 M Haru mengirim misi ke Tiongkok.

Dalam ekspedisi maritim Tionghua tahun 1413 M Ying-yai Sheng-lam, disebutkan “A-lu(Aru, Haru/Karo)” merupakan penghasil kemeyan; dan sumber Tionghua lainnya Hsing-ch’a Sheng Lam menyebutkan “A-lu” sebagai penghasil beras, kemeyam, bahan-bahan aromatik, kamper, dll.

Dalam Wu Pei Shih(Peta Cina, 1433 M) disebutkan, ketika armada Cina berlayar dari arah barat saat hendak kembali ke Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan sebagai berikut: Su Man Ta La(Samudra Pasai), Chu-Shui Wan(Lhok Seumawe), Pa Lu T’hou(Perlak), Kum Pei Chiang(Tamiang), Ya Lu(Haru/Karo), Tan Hsu(Pulau Berhala), dan seterusnya.

Januari dan November 1539 M, Haru diserang oleh Sultan Aceh Al Qadar(Sultan Alaidin Riyad Shah – I) dan kejadian ini dituliskan oleh Ferdinand Mandez Pinto yang merupakan seorang utusan Portugis saat mengunjungi Haru(Haru II/Deli Tua) dari Malaka setelah menempuh lima hari perjalanan hingga sampai di ibu negeri Haru II(Deli Tua).

Tahun 1511 M Haru diserang oleh Malaka namun tidak berhasi. Kemudian ditahun 1515 M Haru kembali diserang kali ini oleh Aceh dan Portugis namun juga tidak berhasil. Dan, para peneliti meyakini dimasa iniliah pusat kerajaan Haru benar-benar berpindah dari Teluk Haru(Langkat) ke Alé(Deli Tua).
Geriten Karo di Istana Maimoon: Geriten adalah rumah penyimpanan tulang belulang leluhur Karo
"Geriten di Istana Maimoon" sumber photo: tripadvisor.com
Tahun 1590 M diyakini tahun berdirinya Kota Medan, yang dimana didirikan oleh seorang putra Karo bermerga Sembiring, yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Bersamaan dengan ini, ditahun 1594 M Seh Ngenana beru Sembiring Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau diangkan menjadi pemimpin(Ratu) Haru. Di masa-masa inilah dapat dikatakan masa-asa kritis Haru, dimana peperangan yang terus-menerus membuat wilayah Haru semakin terdesak ke pedalaman gugung(pegunungan Karo) dan melemahkan posisi Haru itu sendiri, maka ditahun 1632 M diyakini Haru(Alé) di Pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara resmi takluk. Hal ini ditandai dengan pengangkatan Gocah Pahlawan menjadi Raja(Sultan) Deli. Dengan tegaknya Deli membuat supremasi Haru(Karo) di wilayah pesisir pantai timur benar-benar hilang, namun ada beberapa kerajaan urung Haru(Karo) yang masih tegak berdiri dan menjadi wilayah independen terbatas, seperti: Kerajaan Urung Serbanyaman(Sunggal) yang dipinpin oleh Datuk Sunggal ber-merga Karo-karo Surbakti, Urung Senembah yang dipinpin oleh merga Karo-karo Barus, Urung Hamparan Perak(Sepuluh Dua Kuta/XII Kuta) yang dipinpin oleh Sembiring Pelawi(keturunan Guru Patimpus Sembiring Pelawi/pendiri kota Medan), dan Urung Suka Piring yang juga dipinpin oleh seorang dari merga Sembiring Pelawi.

          Dalam suratnya kepada Raja Portugal bertahunkan 1539 M  Pero de Farida mengatakan Aceh telah menyerang Haru sebanyak dua kali, yakni di bulan Januari dan November 1539 M. Cornelius de Houtman dan Frederich de Houtman saat tiba di Aceh tertanggal 21 Juni 1599 mengutarakan beberapa kerajaan besar di Sumatera, diantaranya: Minangkabau, Pedir, Haru, dan Aceh. Di-tahun 1591 M Sultan Johor, Ali Jalal menumpas pasukan Aceh dan berhasil mengalahkanya di Haru yang dimana tahun 1612 M Aceh kembali menyerang balik, dilanjutkan denga serangan di tahun 1624 M yang menjadi titik runtuhnya kerajaan Haru di kawasan pesisir serta takluk kepada Aceh. Dengan demikian, kekuatan Haru hanya tinggal di-kawasan pegunungan Karo saja yang hingga kedatangan Belanda belum bisa ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lainnya terkhususnya Aceh. Baru di-tahun 1908 M kolonial Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Haru terakhir(Haru Kuta Buluh/Kesebayaken Kuta Buluh) dan menjatuhkan hukuman kurungan seumur hidup kepada Sibayak(raja) Haru Kuta Buluh, Sibayak Batiren(Pa Tolong). Dengan demikian seluruh wilayah Haru(Karo) telah takluk!
          Dari penggalan-penggalan fakta sejarah diatas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, yang mungkin jika kita berpaling pada tradisi-tradisi yang ada(opini publik yang digiring baik sengaja atau tidak) akan terasa janggal, diantaranya:

1.   
Geriten(monumen) Togan Raya - Batu Malar
Geriten(munumen) Togan Raya-Batu Malar.  Tugu peringatan
kedatangan manusia pertama suku Karo yang  berasal dari
daratan India sekitar 200 Tahun Sebelum Masehi.
Suku bangsa Karo telah ada diawal bahkan sebelum memasuki tahun Masehi. Hal ini merujuk pada tahun-tahun yang diyakini berdirinya kerajaan Haru(Karo), setidaknya antara priode abat I hingga abad ke-6. Logika-nya, untuk membentuk ataupun mendirikan sebuah kerajaan besar, tidak-lah mungkin dalam waktu yang singkat, dengan ilmu pengetahuan yang minim, serta jumlah sumber daya manusia yang cukup. Dalam tradisi Karo, untuk membentuk satuan administrasi kuta(satuan/kerapatan dari beberapa kesain) saja harus setidaknya memiliki kelengkapan diantaranya seperti berikut:

-      Terdiri dari beberapa kesain yang telah berkembang, sehingga nantinya akan disatukan(dinaikkan setatusnya) menjadi kuta.
-      Memiliki rumah adat yang menjadi tempat tinggal dan pertemuan. Serta perangkat-perangkat dalam rumah adat ini juga telah terpenuhi, baik kebendaannya maupun organik(penghuni).
-      Memiliki kesain(beranda desa/alun-alun) sebagai tempat pertemuan, bermain anak-anak, penjemuran dan penumpukan hasil tani terkhususnya padi. Dalam sebuah kuta, setidaknya harus memiliki satu kesain dan untuk kuta-kuta yang besar bahkan lebih dari tiga atau empat kesain.
-      Memiliki jambur sebagai tempat pertemuan, lumbung pangan, tempat muda/i bercengkramah dan belajar, tempat memasak saat pesta, tempat lajang tidur dimalam hari, dan tempat pertandang(musafir/tamu) bermalam;
-      Memiliki geriten sebagai tempat mengumpulkan/menyimpan tulang belulang leluhur yang dianggap sebagai tokoh/teladan di kuta tersebut;
-      Memiliki peken(reba) sebagai tempat anggota kuta untuk menanam tanaman keras yang diana luasnya ditentukan oleh pertemuan baluren(lembah);
-      Memiliki pendonen sebagai tempat mengubur zenajah anggota kuta;
-      Memiliki perjuman yang merupakan berbatasan denga peken yang diperuntukkan bagi warga umum dan juga tanaman umum;
-      Memiliki kerangen(hutan) sebagai pengimbang alam, pemasok udara, dan air segar bagi masyarakat desa yang dimana ada larangan untuk menebang pohon(hanya boleh mengambil ranting sebagai kayu bakar), disampin kerangen ada juga deleng rimbun raya dimana di hutan ini-lah baru diperbolehkan menebang kayu untuk memproduksi balok-balok besar untuk keperluan bangunan maupun untuk dijual;
-      Memiliki barung  yang merupakan tempat mengembalakan hewan jinak, berupa padang rumput yang luas namun terbatas atau bisa dikatakan lokasi peternakan alam;
-      Memiliki Perjalangen yang merupakan padang rumput luas dan tak terbatas. Dimana hewan ternak bebas berkeliaran dan tidak digembalakan;
-      Memilik tapin(MCK umum) yang minimal satu kuta harus memiliki dua lokasi tapin yang berjauhan, karena adanya adat rebu(tidak saling sapa) dalam adat Karo;
-      Memiliki buah uta-uta  sebagai tempat pemujaan atau persembahyangan bagi penganut ajaran Pemena(agama/kepercayaan Karo).

Itu-lah syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh setatus kuta! Itu masih dalam hal perangkat, belum lagi proses pendiriannya yang tentunya memakan waktu yang panjang. Bagaimana pula jika mendirikan sebuah kerajaan Urung ataupun Kesebayaken? Hm.. mungkin butuh waktu sekurang-kurangnya 100 tahun, bukan begitu? Jadi, sangatlah masuk akal jika Karo itu sudah ada diawal-awal atau bahkan sebelum memasuki tahun Masehi, mengingat masa pendirian dari kerajaan besar Haru(Karo).

2.   Karo, telah ada saat masa kemunculan Si Raja Batak(abad ke-13). Maka, muncullah pertanyaan! Mungkinkan Karo juga keturunan dari Si Raja Batak yang dalam tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak? Dimana notabene-nya Karo lebih tua dari Si Raja Batak! Jadi, dalam hal ini terbukti bahwasanya Karo bukan-lah keturunan dari Si Raja Batak,  karena Karo lebih tua dari Si Raja Batak, atau setidaknya hidup kerajaan Aru/Haru(Karo) bersamaan dengan masa hidup Si Raja Batak, jadi dalam hal ini perlulah kiranya membangun logika berfikir dalam menyingkapi fakta sejarah, jangan lantas kita menerima begitu saja ataupun menjatuhkan vonis kepeda seseorang ataupun kelompok etnis atas dasar opini umum publik semata!

3.   Karo = Haru = Aru = Alé = A-lu = Ya-lu = Ya lo = Carrow = Karau = Karaw = Haro = Harw = Haraw = Harladji = Harlanj = Haro-haro = Guru = Gori.

4.   Kerajaan Haru Karo (Kuta Buluh) adalah kerajaan terakhir, setidaknya di Sumatera bagian Utara yang ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Dan, tidak ada dalam sejarah tentang adanya bangsa dan negeri Batak seperti yang digembar-gemborkan seperti pada saat ini. Dan, tidak ada sejarahnya suku bangsa Karo hidup di negeri Batak ataupun berajakan raja Batak. Yang ada dan berkuasa di Karo: Sibayak-Sultan, Raja Urung, Pengulu, Pengulu Kesain, dll.


5.   Silahkan simpulkan sendiri.